Diah Mahesti Wijayanti, S.Pd

Pengertian kekerasan menurut permendikbud no 46 tahun 2023.

Permendikbudristek No 46 Tahun 2023 yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan dalam lingkungan satuan pendidikan di Indonesia. Peraturan ini hadir untuk melindungi peserta didik mendapatkan pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Sedangkan bagi pendidik dan tenaga kependidikan, peraturan ini mendapatkan perlindungan dalam bekerja.

Adapun yang melatarbelakangi dikeluarkannya peraturan ini adalah, makin maraknya kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan. Hal ini terlihat dari hasil berbagai survey yang menunjukkan saat ini Indonesia dalam kondisi darurat kekerasan terhadap anak. Berdasarkan hasil Asesmen Nasional pada tahun 2022, 34,51% peserta didik atau 1 dari 3 peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual, 26,9% peserta didik atau 1 dari 4 peserta didik berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31% peserta didik atau 1 dari 3 peserta didik berpotensi mengalami perundungan. Temuan ini juga dikuatkan dengan hasil dari Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (2021) yang menunjukkan sebanyak 34% atau 3 dari 10 anak laki-laki dan 41,05% atau 4 dari 10 anak perempuan usia 13-17 tahun pernah mengalami satu jenis kekerasan atau lebih di sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya Permendikbudristek PPKSP, kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dapat ditekan seminimal mungkin.

Dirangkum dari “Buku Saku Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkunag Pendidikan”, Permendikbudristek ini mengatur beberapa hal yang merupakan pengembangan/penyempurnaan dari peraturan sebelumnya, antara lain: 1. Pihak-pihak yang menjadi sasaran Permendikbud PPKSP; 2. Definisi dan bentuk-bentuk kekerasan; 3. Pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan (TPPK) dan Satuan Tugas; 4. Syarat dan tugas TPPK dan Satuan Tugas; 5. Mekanisme dan alur penanganan kekerasan; 6. Hak saksi, korban, dan pelapor; 7. Pendataan penanganan kekerasan yang mendukung perencanaan berbasis data.

Adapun bentuk Kekerasan yang diatur dalam Permendikbudristek ini adalah:

a. Kekerasan fisik;

b. Kekerasan psikis;

c. Perundungan;

d. Kekerasan seksual;

e. Diskriminasi dan intoleransi;

f. Kebijakan yang mengandung Kekerasan; dan

g. bentuk Kekerasan lainnya.

Bentuk kekerasan tersebut dapat dilakukan secara fisik, verbal, nonverbal, dan/atau melalui media teknologi informasi dan komunikasi. Peraturan ini juga menjabarkan definisi masing-masing kekerasan sehingga dapat memberikan pemahaman akan batas-batas hal yang termasuk dalam kekerasan.

Permendikbudristek ini juga merinci apa yang harus dilakukan bila terjadi kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Yang perlu dipahami adalah, upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama seluruh lapisan masyarakat, termasuk para pemangku kepentingan. Jika terjadi kasus kekerasan di sekolah, TPPK yang akan bertugas untuk menangani kasus, berpedoman pada kebijakan kementerian terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Namun, jika tindak kekerasan akan dilaporkan atau ditangani aparat penegak hukum, TPPK perlu memfasilitasi dengan melakukan koordinasi kepada satuan tugas atau lembaga bantuan hukum setempat. Selain itu, jika kasus kekerasan tidak dapat terselesaikan oleh TPPK, maka TPPK perlu meneruskan kasus tersebut ke Satuan Tugas, untuk kemudian, Dinas Pendidikan bekerja sama dengan Dinas PPPA agar dapat menangani kasus kekerasan secara optimal.

Selain dari kekerasan yang terjadi pada umumnya di satuan sekolah, peraturan ini Juga memberi bahasan khusus untuk mengatur kekerasan pada kelompok disabilitas dan kekerasan dalam bentuk daring/online/digital.

Dalam hal ruang lingkup, Permendikbudristek ini secara garis besar mengatur tiga cakupan kekerasan:

  1. Kekerasan yang terjadi di dalam lingkungan satuan pendidikan
  2. Kekerasan yang terjadi di luar lokasi satuan pendidikan atau sekolah yang masih dalam kegiatan satuan pendidikan/sekolah, misalnya kegiatan satuan pendidikan seperti magang, karya wisata, dan/jambore, dan
  3. Kekerasan yang melibatkan lebih dari satu satuan pendidikan.

Kemendikbudristek juga menyadari, dari pengalaman yang ada, banyak pihak yang menjadi korban ataupun menjadi saksi yang melihat kekerasan terjadi namun tidak berani melaporkannya karena takut akan ada hal buruk menimpa mereka. Karena itu, peraturan ini juga mengatur mengenai perlindungan dan penjaminan hak korban dan saksi. Tidak sebatas itu saja, perlindungan dan penjaminan hak TPPK juga diperhatikan, karena mereka bisa saja mendapat intimidasi dalam melaksanakan tugasnya.

 

Peran aktif masyarakat dalam implementasi Permendikbudristek No 46 Tahun 2023

Kemendikbudristek memang telah mengeluarkan payung hukum untuk pencegahan dan penanganan kekerasan di satua pendidikan. Namun, tanpa kerja sama semua pemangku kepentingan untuk mengimplementasikan peraturan tersebut, upaya ini akan menjadi sia-sia. Selain dari pihak sekolah, orang tua siswa sebagai masyarkat juga dapat berperan penting dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan sekolah. Salah satu caranya adalah dengan cara bergabung menjadi anggota TPPK sebagai perwakilan orang tua di sekolah anak masing-masing. Orang tua perlu mendorong dan memastikan sekolah anaknya telah membentuk TPPK di sekolah dan sudah terbentuk satgas di level pemerintah daerah.

Sebagai upaya pencegahan kekerasan di satuan pendidikan, orang tua juga dapat berpartisipasi dengan turut serta mengkampanyekan dan melakukan sosialisasi terhadap pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan baik melalui media sosial maupun kepada orang tua lain serta lingkungan sekitar.

Di dalam keluarga, upaya pencegahan kekerasan dapat dilakukan secara aktif dengan memberikan pengetahuan kepada anak terkait kekerasan, baik untuk mencegah anak menjadi pelaku, yang harus dilakukan saat anak menjadi korban, maupun yang harus dilakukan saat melihat temannya menjadi korban.